Nasehat Rasulullah SAW kepada para sahabat yang meminta suatu jabatan
حديث عَبْدِالرَّحْمَنِ بْنُ
سَمُرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا
عَبْدَالرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لاَ تَسْأَلِ الإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا
عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ
أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا
مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ
Bersumber
dari Abdurrahman bin Samurah r.a. katanya: Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
"Wahai Abdurrahman bin Samurah! Janganlah kamu meminta-minta untuk menjadi
pemimpin. Sesungguhnya jika pimpinan itu diberikan kepadamu bukan karena kamu
memintanya, maka kamu akan memikul tanggung jawab sebagai seorang pemimpin
tanpa menghadapi banyak masalah. Jika kamu telah terlanjur bersumpah, kemudian
kamu melihat sesuatu yang lebih baik daripada
sumpahmu itu, maka hendaklah kamu membayar kaffarat (denda) dari sumpahmu
tadi dan hendaklah kamu mengerjakan sesuatu yang lebih baik itu."
(HR.
Al-Bukhari/ Kitab al-Aiman wan Nuzur No. 6132; Kaffaaraat al-Aiman No. 9227;
al-Ahkam No. 6613; 6614; Muslim/ Kitab al-Aiman No. 3120; At-Turmudzi/ Kitab
al-Aiman wan Nuzur No. 1449; An-Nasai/ Kitab al-Aiman wan Nuzur wal Muzara'ah
No. 3722,3723,3724; Adab al-Qudah No. 5289; Abu Daud/ Kitab al-Khurraj wal
Imarah wal Fai' No. 2540; Al-Aiman wan Nuzur No. 2582; Ahmad/ Juz V/ hal. 61,
62, 63; Ad-Darimi/ Kitab al-Aiman wan Nuzur No. 2241)
عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ
دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَرَجُلاَنِ مِنْ
بَنِي عَمِّي فَقَالَ أَحَدُ الرَّجُلَيْنِ يَا رَسُولَ الله أَمِّرْنَا عَلَى
بَعْضِ مَا وَلاَّكَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ وَقَالَ الآخَرُ مِثْلَ ذَلِكَ فَقَالَ
إِنَّا وَاللهِ لاَ نُوَلِّي عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلاَ
أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ
Bersumber
dari Abu Musa r.a. katanya: Aku pernah menemui Nabi SAW bersama dengan dua
orang lelaki dari anak-anak pamanku. Salah seorang anak pamanku itu berkata:
Wahai Rasulullah, berilah aku jabatan untuk mengurus (memimpin) sebahagian dari
urusan yang diberikan oleh Allah kepadamu. Anak pamanku yang lain mengajukan
permohonan yang sama, lalu Rasulullah SAW besabda: Demi Allah, aku tidak akan
menyerahkan pekerjaan ini kepada orang yang memintanya, dan tidqk akan
menyerahkannya kepada orang yang sangat mengharapkannya."
(HR.
Al-Bukhari/ Kitab al-Maghazi No. 3998; Muslim/ Kitab al-Imarah No. 3402;
An-Nasaii/ Kitab at-Thaharah No. 4; Tahrimud Dam No. 3998; Abu Daud/ Kitab
al-Hudud No. 3790, 3791; Ahmad/ Juz IV/ hal. 409, 417)
عَنْ أُسَيْدِ بْنِ حُضَيْرٍ
رَضِي الله عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ أَلاَ
تَسْتَعْمِلُنِي كَمَا اسْتَعْمَلْتَ فُلاَنًا قَالَ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِي
أُثْرَةً فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الْحَوْضِ
Bersumber dari Usaid bin Hudhair r.a. katanya: Pernah seorang lelaki Anshar telah menemui Rasulullah SAW seorang diri, lalu berkata: Kenapa engkau tidak menugaskan aku seperti engkau telah menugaskan si Fulan? Rasulullah SAW menjawab: Sesungguhnya kamu akan bertemu dengan pemimpin yang mementingkan diri sendiri dan menyelewengkan jabatan setelah aku meninggal dunia nanti, maka hendaklah kamu bersabar sampai kamu bertemu denganku di perigi (dalam surga)."
(HR. Al-Bukhari/
Kitab al-Manaqib No. 3508; Al-Fitan No. 6532; Muslim/ Kitab al-Imarah No. 3432;
At-Turmudzi/ Kitab al-Fitan No. 2115; An-Nasaii/ Kitab Adabul Qudhaah No. 5288;
Ahmad/ Juz IV/ hal. 351, 352)
KANDUNGAN
HADITS
Tiga hadits di
atas menerangkan kepada kita tentang aturan mengangkat pemimpin, sekaligus
menjadi panduan bagi ummat untuk menyikapi orang yang berambisi menjadi
pemimpin. Bahwa kepemim-pinan dalam Islam hendaklah berlang-sung dalam koridor
keimanan dan nilai-nilai akhlakul karimah, sehingga tidak mengorbankan citra
diri yang mem-bawa dampak negatif bagi kehidupan pribadi dan masyarakat, karena
kepemimpinan dalam Islam adalah suatu amanat Ilahi yang bila salah
mempergunakannya, niscaya akan menghadapi bencana besar.
Sebagai suatu
amanah yang beresiko besar, maka tidaklah layak bagi seorang mukmin untuk
meminta-minta jabatan kepemimpinan, karena sama halnya dengan meminta-minta
penyakit. Sebab, bila kelak dirinya diangkat menjadi pemimpin, lalu terjadi
penyelewengan atau peng-khianatan, maka ia ter-perangkap dalam padang tandus kemunafikan.
Padahal kemunafikan itu adalah sangat dibencihi Allah SWT dan diancamNya dengan
siksaan yang sangat berat, seperti firmanNya:
Sesungguhnya
orang-orang munafik itu (ditempat-kan) pada tingkatan yang paling bawah dari
neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi
mereka. (QS. An-Nisak
4: 145)
MEKANISME
MENGANGKAT PEMIMPIN
Selanjutnya,
masalah mekanisme mengangkat pemimpin maka hendaklah diserahkan kepada hati
nurani ummat yang berpandukan tata aturan Ilahi. Ummat yang baik tentu akan
mencari pemimpin yang baik… sebaliknya ummat yang jelek, maka akan mencari
pemimpin yang jelek pula, karena hati nurani manusia adalah seperti tentara
yang dipersiapkan. Mana-mana yang bersesuaian, maka ia akan serasi, dan
mana-mana yang berlawanan, maka ia akan bertentangan terus menerus.
Firman Allah
SWT tentang tabiat ummat beriman:
Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma`ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat,
dan mereka ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh
Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah 9: 71)
Firman Allah
tentang watak orang-orang munafik:
Orang-orang
munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah
sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma`ruf dan
mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah
melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang
fasik. (QS. At-Taubah
9: 67)
Islam menuntun
kita agar menyerahkan jabatan kepemimpinan kepada ahlinya. Karena apabila suatu
urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka kehancuranlah yang akan dihadapi.
Yang dimaksud dengan "ahli" di sini adalah memenuhi syarat yang
ditetapkan syariat… Pemimpin itu hendaklah beriman, berilmu, sehat lahir dan
bathin, serta berkesanggupan untuk menerima jabatan, seperti dijumpai pada
ayat-ayat berikut:
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi
sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguh-nya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. Al-Maidah 5: 51)
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang
yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan per-mainan, (yaitu) di antara
orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir
(orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul
orang-orang yang beriman. (QS.
Al-Maidah 5: 57)
Nabi
mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat
Thalut menjadi rajamu". Mereka menjawab: "Bagai-mana Thalut
memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan
daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang banyak?" (Nabi
mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan
menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan
pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas
pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah 2: 247)
RENUNGAN HADITS
Jika kita
merenungi kandungan hadits di atas, maka kita akan menemukan intisari
pendidikan politik yang bermutu tinggi… Kepemimpinan bukanlah tujuan final dari
politik, tetapi sebagai suatu jalur dalam menata masyarakat menuju tujuan utama
kewujudan manusia. Oleh sebab itu kita dituntut supaya menghindari cara-cara
yang berlawanan dengan jiwa Islam sewaktu meraih jabatan kepemimpinan.
Rasulullah SAW
menasehatkan kepada Abdurrahman bin Samurah:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَالرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لاَ تَسْأَلِ
الإِمَارَةَ
Rasulullah
s.a.w. pernah bersabda: "Wahai Abdurrahman bin Samurah! Janganlah kamu
meminta-minta untuk menjadi pemimpin.
Di sini tampak
jelas bahwa Rasulullah SAW tidak membenarkan sahabatnya dan seluruh ummatnya
meminta-minta untuk menjadi pemimpin. Karena dunia kepemimpinan itu penuh
dengan asam garam dan liku-liku kehidupan yang kompleks. Seperti melihat
keindahan panorama alam dari kejauhan, kalau didekati ternyata penuh dengan
onak dan duri, serta marabahaya yang mematikan.
Bukan berarti
seorang mukmin harus menu-tup diri dari menerima amanat kepemimpinan. Asal saja
kepemimpinan itu diperoleh melalui jalan yang wajar, bukan dengan cara
meminta-minta jabatan, atau bukan karena dorongan ambisi pribadi, maka di sini
seorang mukmin akan menerimanya; selama masih berada dalam batas-batas
kesanggupannya… Pemimpin yang lahir dengan kondisi begini adalah pemimpin yang
akan terhindar dari masalah-masalah yang bisa memberatinya. Baik secara
psikologis, maupun segi sosial politik dan lain sebagainya…
فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا
عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ
أُعِنْتَ عَلَيْهَا
Sesungguhnya
jika pimpinan itu diberikan kepadamu bukan karena kamu memintanya, maka kamu
akan memikul tanggung jawab sebagai seorang pemimpin tanpa menghadapi banyak
masalah.
Sebaliknya
jabatan pimpinan yang diperoleh karena memintanya, maka yang bersangkutan akan
menghadapi banyak masalah waktu memikul tanggung jawab. Baik bersumber dari
dirinya sendiri (internal), maupun masalah yang muncul dari orang lain
(eksternal), terutama bila ternyata jabatan itu tidak seindah yang dibayangkan.
Di samping itu
Rasulullah SAW menasehati Abdurrahman bin Samurah dalam soal keterlanjuran
bersumpah:
وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى
يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ
الَّذِي هُوَ خَيْرٌ
Jika kamu
telah terlanjur bersumpah, kemudian kamu melihat sesuatu yang lebih baik
daripada sumpahmu itu, maka hendaklah
kamu membayar kaffarat (denda) dari sumpahmu tadi dan hendaklah kamu
mengerjakan sesuatu yang lebih baik itu."
Manusia adalah
makhluk yang penuh dengan kekurangan. Pandangan kita terhadap sesuatu masalah
sangat dipengaruhi oleh alam pikiran, oleh ilmu pengetahuan kita yang dangkal
dan faktor-faktor lain. Boleh jadi kita memandang sesuatu itu baik, tetapi di
balik sesuatu itu ternyata mengandung keburukan. Dan boleh jadi kita menilai
sesuatu itu jelek, tetapi di baliknya terkandung kebajikan yang banyak… Allah
SWT Maha Mengetahui, sedangkan kita tiada mengetahui…
Sesuatu yang
kita nilai baik, atau yang kita pandang jelek, lalu mendorong kita untuk
mengokoh-kan pilihan kepada kecenderungan hati tadi dengan bersumpah. Tetapi
setelah itu timbul keinsafan bahwa penilaian kita tadi adalah keliru, maka di
sini Rasulullah SAW membuka jalan kepada kita untuk memperbaiki diri dengan
ketentuan Ilahi, yakni; membayar kaffarat (denda) dari sumpah tadi. Kemudian
hendaklah diikuti dengan mengerjakan sesuatu yang lebih baik…
Tentang
kaffarat sumpah itu hendaklah dibayar melalui empat pilihan:
Pertama:
Memberi makan sepuluh orang miskin dari jenis makanan sederhana untuk keluarga
bersangkutan, atau; Kedua: Memberi pakaian sepuluh orang miskin, atau;
Ketiga: Memerdekakan seorang budak. Jika tidak sanggup, maka pilihan;
Keempat: Berpuasa selama tiga hari.
Ketentuan ini
ditemui pada firman Allah di surat
Al-Maidah ayat 89:
Allah
tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh
orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu,
atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa
tidak sanggup melakukan yang de-mikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga
hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah
(dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan
kepadamu hukum-hukumNya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (QS. 5: 89)
Kembali pada
masalah kepemimpinan… Dalam hadits yang bersumber dari Abu Musa, tampak nyata
betapa Rasulullah SAW membencihi sikap orang yang gila jabatan, dimana waktu
anak paman Abu Musa meminta kepada Nabi SAW suatu jabatan dalam urusan agama,
maka beliau menanggapi:
فَقَالَ إِنَّا وَاللهِ لاَ
نُوَلِّي عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلاَ أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ
"…
lalu Rasulullah SAW bersabda: Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan pekerjaan
ini kepada orang yang memintanya, dan tidqk akan menyerahkannya kepada orang
yang sangat mengharapkannya."
Orang yang gila
jabatan, akan mudah dihinggapi penyakit mabuk kekuasaan, sehingga lupa diri dan
lupa tanggung jawab. Orang yang ambisius akan melakukan apa saja asal
maksud-nya tercapai… ia tidak akan segan melakukan money politik, menyuap,
manipulasi, dan bahkan kalau perlu melakukan teror kepada orang lain… padahal
cara-cara begini adalah berlawanan dengan roh Islam!
Nasehat
Rasulullah SAW agar menghindari perbuatan meminta-minta jabatan itu, telah
memenuhi kalbu para sahabat. Salman Al-Farisi, misalnya mengatakan:
"Seandainya kamu masih mampu makan tanah –asalkan tak membawahi dua orang
manusia-, maka lakukanlah!" Suatu ketika Salman pernah ditanyai orang:
"Apa sebabnya anda tidak menyukai jabatan sebagai amir?" Jawabnya:
"Karena manis waktu memegangnya tapi pahit waktu melepaskannya!"
Setelah
Rasulullah SAW wafat, kaum muslimin menghadapi fitnah demi fitnah. Ditandai
oleh munculnya di kalangan ummat Islam sosok pribadi yang ambisius dan gila
jabatan. Terutama setelah berakhirnya masa Khulafaaur Rasyidin dan Mu'awiyah
bin Abi Sufyan merebut kekuasaan dengan caranya yang kontraversial.
Peristiwa
kerusakan ummat dengan kemunculan orang yang ambisius dan gila jabatan itulah
yang diungkapkan Rasulullah SAW dalam hadits Usaid bin Hudhair:
أَنَّ رَجُلاً مِنَ
الأَنْصَارِ قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلُنِي كَمَا اسْتَعْمَلْتَ فُلاَنًا
Pernah
seorang lelaki Anshar telah menemui Rasulullah SAW seorang diri, lalu berkata:
Kenapa engkau tidak menugaskan aku seperti engkau telah menugaskan si Fulan?
Rasulullah SAW
mengalihkan pembicaraan sahabat ini kepada pokok masalah lain; berkaitan dengan
fitnah yang bakal muncul dari sosok pemimpin:
قَالَ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِي
أُثْرَةً
Rasulullah
SAW menjawab: Sesungguhnya kamu akan bertemu dengan pemimpin yang mementingkan
diri sendiri dan menyelewengkan jabatan setelah aku meninggal dunia nanti,
فَاصْبِرُوا حَتَّى
تَلْقَوْنِي عَلَى الْحَوْضِ
maka
hendaklah kamu bersabar sampai kamu bertemu denganku di perigi (dalam
surga)."
Tipe pemimpin
yang disebut Rasulullah SAW di atas, tidak layak bagi ummat Islam untuk
memberikan loyalitas padanya… Kalau usaha reformasi (perbaikan) tidak
memungkinkan lagi, maka kita dinasehati agar bersabar; jangan ikut-ikutan
menjadi bunglon, atau seperti pucuk aru, melambai ke mana arah angin bertiup,
sampai bertemu dengan Rasulullah SAW di dalam surga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar