Sabtu, 22 Agustus 2015

ATURAN KEPEMIMPINAN DALAM SYARI'AT

Nasehat Rasulullah SAW kepada para sahabat yang meminta suatu jabatan  


حديث عَبْدِالرَّحْمَنِ بْنُ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَالرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لاَ تَسْأَلِ الإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ

Bersumber dari Abdurrahman bin Samurah r.a. katanya: Rasulullah s.a.w. pernah bersabda: "Wahai Abdurrahman bin Samurah! Janganlah kamu meminta-minta untuk menjadi pemimpin. Sesungguhnya jika pimpinan itu diberikan kepadamu bukan karena kamu memintanya, maka kamu akan memikul tanggung jawab sebagai seorang pemimpin tanpa menghadapi banyak masalah. Jika kamu telah terlanjur bersumpah, kemudian kamu melihat sesuatu yang lebih baik daripada  sumpahmu itu, maka hendaklah kamu membayar kaffarat (denda) dari sumpahmu tadi dan hendaklah kamu mengerjakan sesuatu yang lebih baik itu."

(HR. Al-Bukhari/ Kitab al-Aiman wan Nuzur No. 6132; Kaffaaraat al-Aiman No. 9227; al-Ahkam No. 6613; 6614; Muslim/ Kitab al-Aiman No. 3120; At-Turmudzi/ Kitab al-Aiman wan Nuzur No. 1449; An-Nasai/ Kitab al-Aiman wan Nuzur wal Muzara'ah No. 3722,3723,3724; Adab al-Qudah No. 5289; Abu Daud/ Kitab al-Khurraj wal Imarah wal Fai' No. 2540; Al-Aiman wan Nuzur No. 2582; Ahmad/ Juz V/ hal. 61, 62, 63; Ad-Darimi/ Kitab al-Aiman wan Nuzur No. 2241)

عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَرَجُلاَنِ مِنْ بَنِي عَمِّي فَقَالَ أَحَدُ الرَّجُلَيْنِ يَا رَسُولَ الله أَمِّرْنَا عَلَى بَعْضِ مَا وَلاَّكَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ وَقَالَ الآخَرُ مِثْلَ ذَلِكَ فَقَالَ إِنَّا وَاللهِ لاَ نُوَلِّي عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلاَ أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ

Bersumber dari Abu Musa r.a. katanya: Aku pernah menemui Nabi SAW bersama dengan dua orang lelaki dari anak-anak pamanku. Salah seorang anak pamanku itu berkata: Wahai Rasulullah, berilah aku jabatan untuk mengurus (memimpin) sebahagian dari urusan yang diberikan oleh Allah kepadamu. Anak pamanku yang lain mengajukan permohonan yang sama, lalu Rasulullah SAW besabda: Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan pekerjaan ini kepada orang yang memintanya, dan tidqk akan menyerahkannya kepada orang yang sangat mengharapkannya."

(HR. Al-Bukhari/ Kitab al-Maghazi No. 3998; Muslim/ Kitab al-Imarah No. 3402; An-Nasaii/ Kitab at-Thaharah No. 4; Tahrimud Dam No. 3998; Abu Daud/ Kitab al-Hudud No. 3790, 3791; Ahmad/ Juz IV/ hal. 409, 417)

عَنْ أُسَيْدِ بْنِ حُضَيْرٍ رَضِي الله عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلُنِي كَمَا اسْتَعْمَلْتَ فُلاَنًا قَالَ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِي أُثْرَةً فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الْحَوْضِ

Bersumber dari Usaid bin Hudhair r.a. katanya: Pernah seorang lelaki Anshar telah menemui Rasulullah SAW seorang diri, lalu berkata: Kenapa engkau tidak menugaskan aku seperti engkau telah menugaskan si Fulan? Rasulullah SAW menjawab: Sesungguhnya kamu akan bertemu dengan pemimpin yang mementingkan diri sendiri dan menyelewengkan jabatan setelah aku meninggal dunia nanti, maka hendaklah kamu bersabar sampai kamu bertemu denganku di perigi (dalam surga)."

(HR. Al-Bukhari/ Kitab al-Manaqib No. 3508; Al-Fitan No. 6532; Muslim/ Kitab al-Imarah No. 3432; At-Turmudzi/ Kitab al-Fitan No. 2115; An-Nasaii/ Kitab Adabul Qudhaah No. 5288; Ahmad/ Juz IV/ hal. 351, 352)

KANDUNGAN HADITS

Tiga hadits di atas menerangkan kepada kita tentang aturan mengangkat pemimpin, sekaligus menjadi panduan bagi ummat untuk menyikapi orang yang berambisi menjadi pemimpin. Bahwa kepemim-pinan dalam Islam hendaklah berlang-sung dalam koridor keimanan dan nilai-nilai akhlakul karimah, sehingga tidak mengorbankan citra diri yang mem-bawa dampak negatif bagi kehidupan pribadi dan masyarakat, karena kepemimpinan dalam Islam adalah suatu amanat Ilahi yang bila salah mempergunakannya, niscaya akan menghadapi bencana besar.

Sebagai suatu amanah yang beresiko besar, maka tidaklah layak bagi seorang mukmin untuk meminta-minta jabatan kepemimpinan, karena sama halnya dengan meminta-minta penyakit. Sebab, bila kelak dirinya diangkat menjadi pemimpin, lalu terjadi penyelewengan atau peng-khianatan, maka ia ter-perangkap dalam padang tandus kemunafikan. Padahal kemunafikan itu adalah sangat dibencihi Allah SWT dan diancamNya dengan siksaan yang sangat berat, seperti firmanNya:

Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempat-kan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. (QS. An-Nisak 4: 145)

MEKANISME MENGANGKAT PEMIMPIN

Selanjutnya, masalah mekanisme mengangkat pemimpin maka hendaklah diserahkan kepada hati nurani ummat yang berpandukan tata aturan Ilahi. Ummat yang baik tentu akan mencari pemimpin yang baik… sebaliknya ummat yang jelek, maka akan mencari pemimpin yang jelek pula, karena hati nurani manusia adalah seperti tentara yang dipersiapkan. Mana-mana yang bersesuaian, maka ia akan serasi, dan mana-mana yang berlawanan, maka ia akan bertentangan terus menerus.

Firman Allah SWT tentang tabiat ummat beriman:

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma`ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah 9: 71)

Firman Allah tentang watak orang-orang munafik:

Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma`ruf dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik. (QS. At-Taubah 9: 67)

Islam menuntun kita agar menyerahkan jabatan kepemimpinan kepada ahlinya. Karena apabila suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka kehancuranlah yang akan dihadapi. Yang dimaksud dengan "ahli" di sini adalah memenuhi syarat yang ditetapkan syariat… Pemimpin itu hendaklah beriman, berilmu, sehat lahir dan bathin, serta berkesanggupan untuk menerima jabatan, seperti dijumpai pada ayat-ayat berikut:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguh-nya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. Al-Maidah 5: 51)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan per-mainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman. (QS. Al-Maidah 5: 57)

Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu". Mereka menjawab: "Bagai-mana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang banyak?" (Nabi mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.  (QS. Al-Baqarah 2: 247)

RENUNGAN HADITS

Jika kita merenungi kandungan hadits di atas, maka kita akan menemukan intisari pendidikan politik yang bermutu tinggi… Kepemimpinan bukanlah tujuan final dari politik, tetapi sebagai suatu jalur dalam menata masyarakat menuju tujuan utama kewujudan manusia. Oleh sebab itu kita dituntut supaya menghindari cara-cara yang berlawanan dengan jiwa Islam sewaktu meraih jabatan kepemimpinan.

Rasulullah SAW menasehatkan kepada Abdurrahman bin Samurah:

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَالرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لاَ تَسْأَلِ الإِمَارَةَ

Rasulullah s.a.w. pernah bersabda: "Wahai Abdurrahman bin Samurah! Janganlah kamu meminta-minta untuk menjadi pemimpin.

Di sini tampak jelas bahwa Rasulullah SAW tidak membenarkan sahabatnya dan seluruh ummatnya meminta-minta untuk menjadi pemimpin. Karena dunia kepemimpinan itu penuh dengan asam garam dan liku-liku kehidupan yang kompleks. Seperti melihat keindahan panorama alam dari kejauhan, kalau didekati ternyata penuh dengan onak dan duri, serta marabahaya yang mematikan.

Bukan berarti seorang mukmin harus menu-tup diri dari menerima amanat kepemimpinan. Asal saja kepemimpinan itu diperoleh melalui jalan yang wajar, bukan dengan cara meminta-minta jabatan, atau bukan karena dorongan ambisi pribadi, maka di sini seorang mukmin akan menerimanya; selama masih berada dalam batas-batas kesanggupannya… Pemimpin yang lahir dengan kondisi begini adalah pemimpin yang akan terhindar dari masalah-masalah yang bisa memberatinya. Baik secara psikologis, maupun segi sosial politik dan lain sebagainya…

فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا

Sesungguhnya jika pimpinan itu diberikan kepadamu bukan karena kamu memintanya, maka kamu akan memikul tanggung jawab sebagai seorang pemimpin tanpa menghadapi banyak masalah.

Sebaliknya jabatan pimpinan yang diperoleh karena memintanya, maka yang bersangkutan akan menghadapi banyak masalah waktu memikul tanggung jawab. Baik bersumber dari dirinya sendiri (internal), maupun masalah yang muncul dari orang lain (eksternal), terutama bila ternyata jabatan itu tidak seindah yang dibayangkan.

Di samping itu Rasulullah SAW menasehati Abdurrahman bin Samurah dalam soal keterlanjuran bersumpah:

وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ

Jika kamu telah terlanjur bersumpah, kemudian kamu melihat sesuatu yang lebih baik daripada  sumpahmu itu, maka hendaklah kamu membayar kaffarat (denda) dari sumpahmu tadi dan hendaklah kamu mengerjakan sesuatu yang lebih baik itu."

Manusia adalah makhluk yang penuh dengan kekurangan. Pandangan kita terhadap sesuatu masalah sangat dipengaruhi oleh alam pikiran, oleh ilmu pengetahuan kita yang dangkal dan faktor-faktor lain. Boleh jadi kita memandang sesuatu itu baik, tetapi di balik sesuatu itu ternyata mengandung keburukan. Dan boleh jadi kita menilai sesuatu itu jelek, tetapi di baliknya terkandung kebajikan yang banyak… Allah SWT Maha Mengetahui, sedangkan kita tiada mengetahui…

Sesuatu yang kita nilai baik, atau yang kita pandang jelek, lalu mendorong kita untuk mengokoh-kan pilihan kepada kecenderungan hati tadi dengan bersumpah. Tetapi setelah itu timbul keinsafan bahwa penilaian kita tadi adalah keliru, maka di sini Rasulullah SAW membuka jalan kepada kita untuk memperbaiki diri dengan ketentuan Ilahi, yakni; membayar kaffarat (denda) dari sumpah tadi. Kemudian hendaklah diikuti dengan mengerjakan sesuatu yang lebih baik…

Tentang kaffarat sumpah itu hendaklah dibayar melalui empat pilihan:

Pertama: Memberi makan sepuluh orang miskin dari jenis makanan sederhana untuk keluarga bersangkutan, atau; Kedua: Memberi pakaian sepuluh orang miskin, atau; Ketiga: Memerdekakan seorang budak. Jika tidak sanggup, maka pilihan; Keempat: Berpuasa selama tiga hari.

Ketentuan ini ditemui pada firman Allah di surat Al-Maidah ayat 89:

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang de-mikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukumNya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (QS. 5: 89)

Kembali pada masalah kepemimpinan… Dalam hadits yang bersumber dari Abu Musa, tampak nyata betapa Rasulullah SAW membencihi sikap orang yang gila jabatan, dimana waktu anak paman Abu Musa meminta kepada Nabi SAW suatu jabatan dalam urusan agama, maka beliau menanggapi:

فَقَالَ إِنَّا وَاللهِ لاَ نُوَلِّي عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلاَ أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ

"… lalu Rasulullah SAW bersabda: Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan pekerjaan ini kepada orang yang memintanya, dan tidqk akan menyerahkannya kepada orang yang sangat mengharapkannya."

Orang yang gila jabatan, akan mudah dihinggapi penyakit mabuk kekuasaan, sehingga lupa diri dan lupa tanggung jawab. Orang yang ambisius akan melakukan apa saja asal maksud-nya tercapai… ia tidak akan segan melakukan money politik, menyuap, manipulasi, dan bahkan kalau perlu melakukan teror kepada orang lain… padahal cara-cara begini adalah berlawanan dengan roh Islam!

Nasehat Rasulullah SAW agar menghindari perbuatan meminta-minta jabatan itu, telah memenuhi kalbu para sahabat. Salman Al-Farisi, misalnya mengatakan: "Seandainya kamu masih mampu makan tanah –asalkan tak membawahi dua orang manusia-, maka lakukanlah!" Suatu ketika Salman pernah ditanyai orang: "Apa sebabnya anda tidak menyukai jabatan sebagai amir?" Jawabnya: "Karena manis waktu memegangnya tapi pahit waktu melepaskannya!"

Setelah Rasulullah SAW wafat, kaum muslimin menghadapi fitnah demi fitnah. Ditandai oleh munculnya di kalangan ummat Islam sosok pribadi yang ambisius dan gila jabatan. Terutama setelah berakhirnya masa Khulafaaur Rasyidin dan Mu'awiyah bin Abi Sufyan merebut kekuasaan dengan caranya yang kontraversial.

Peristiwa kerusakan ummat dengan kemunculan orang yang ambisius dan gila jabatan itulah yang diungkapkan Rasulullah SAW dalam hadits Usaid bin Hudhair:

أَنَّ رَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ أَلاَ تَسْتَعْمِلُنِي كَمَا اسْتَعْمَلْتَ فُلاَنًا

Pernah seorang lelaki Anshar telah menemui Rasulullah SAW seorang diri, lalu berkata: Kenapa engkau tidak menugaskan aku seperti engkau telah menugaskan si Fulan?

Rasulullah SAW mengalihkan pembicaraan sahabat ini kepada pokok masalah lain; berkaitan dengan fitnah yang bakal muncul dari sosok pemimpin:

قَالَ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِي أُثْرَةً

Rasulullah SAW menjawab: Sesungguhnya kamu akan bertemu dengan pemimpin yang mementingkan diri sendiri dan menyelewengkan jabatan setelah aku meninggal dunia nanti,

فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الْحَوْضِ

maka hendaklah kamu bersabar sampai kamu bertemu denganku di perigi (dalam surga)."

Tipe pemimpin yang disebut Rasulullah SAW di atas, tidak layak bagi ummat Islam untuk memberikan loyalitas padanya… Kalau usaha reformasi (perbaikan) tidak memungkinkan lagi, maka kita dinasehati agar bersabar; jangan ikut-ikutan menjadi bunglon, atau seperti pucuk aru, melambai ke mana arah angin bertiup, sampai bertemu dengan Rasulullah SAW di dalam surga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar