{أَفَرَأَيْتَ الَّذِي
تَوَلَّى (33) وَأَعْطَى قَلِيلًا وَأَكْدَى (34) أَعِنْدَهُ عِلْمُ الْغَيْبِ فَهُوَ
يَرَى (35) أَمْ لَمْ يُنَبَّأْ بِمَا فِي صُحُفِ مُوسَى (36) وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي
وَفَّى (37) أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى (38) وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ
إِلَّا مَا سَعَى (39) وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى (40) ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ
الْأَوْفَى (41) } [النجم: 33 - 42]
Maka apakah kamu melihat
orang yang berpaling (dari Al Qur'an)?,(33) serta memberi sedikit dan tidak mau
memberi lagi?(34) Apakah dia mempunyai pengetahuan tentang yang ghaib sehingga
dia mengetahui (apa yang dikatakan)?(35) Atau-kah belum diberitakan kepadanya
apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa?,(36) dan lembaran-lembaran Ibrahim
yang selalu menyempurnakan janji?,(37) (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa
tidak akan memikul dosa orang lain,(38) dan bahwasanya seorang manusia tiada
memper-oleh selain apa yang telah diusahakannya.(39) Dan bahwasanya usahanya
itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya).(40) Kemudian akan diberi balasan
kepadanya dengan balasan yang paling sempurna. (An-Najm: 33-41)
Kutipan surat An-Najm di
atas termasuk rangkaian ayat Makkiyah yang menyangkut persoalan mendasar
(akidah) dalam kehidupan kita.
Terdapat berbagai riwayat
yang menerangkan sebab turun ayat antara lain:
1. Ibnu Abi Hatim
meriwayatkan dari Ikrimah, bahwa Nabi SAW bersiap-siap berangkat ke medan
perang, lalu datang seorang laki-laki yang meminta untuk dibawa serta. Akan
tetapi Rasulullah SAW tidak mempunyai lagi kenderaan yang akan dinaikinya.
Orang tersebut bertemu dengan seorang temannya dan menyatakan keinginannya.
Temannya menanggapi: "Baiklah, aku berikan kepadamu seekor anak untaku
yang masih muda dengan syarat, engkau menanggung segala dosa-dosaku."
Orang itupun setuju.
2. Bersumber dari Darraj Abi
Samah, bahwa suatu ketika pasukan bersiap-siap ke medan perang, lalu seorang
laki-laki meminta kepada Rasulullah SAW untuk dibawa serta. Rasulullah SAW
bersabda: "Telah habis kenderaan yan dapat aku berikan untuk
tungganganmu." Pulanglah dia dengan sedih. Di perjalanan dia bertemu
dengan seseorang yang bersiap-siap menaiki untanya. Orang miskin ini berkata: "Maukah
engkau bermurah hati membawa-ku mengejar pasukan, dan engkau memperoleh
ganjaran kebajikannya?" Orang itu menyetujui. Ia pun naik ke atas unta
itu.
Dari dua kutipan riwayat
sebab turun ayat di atas kita dapat melihat watak manusia dalam melakukan amal
perbuatan baik yang disertai kebakhilan. Pemberiannya yang sedikit kepada orang
lain didorong oleh interes, dan jauh menyimpang dari bimbingan Al-Quran, ia
memberi dengan syarat orang yang diberinya memberi keuntungan yang sangat besar
bagi pribadinya belaka, yaitu mau menanggung dosa yang dipikulnya, atau mau
memberikan pahala kebajikan kepadanya. Di sisi lain ada pula orang yang beramal semata-mata mengharapkan
keridhaan Allah, tanpa mengharap-kan balasan apapun dari sesama manusia.
'Maka apakah kamu melihat
orang yang berpaling (dari Al Qur'an)?, serta memberi sedikit dan tidak mau
memberi lagi?"
Al-Quran membimbing kita agar
gemar melakukan kebajikan ikhlas karena Allah SWT. Jangan memberi kepada orang
lain, dengan harapan orang yang diberi itu akan membalas pemberiannya dengan
balasan yang jauh lebih besar. Dan membantu sesama tidaklah boleh dihentikan,
bilamana yang dibantu tidak mampu memberikan imbalan, tetapi hanya dilakukan
demi Allah SWT dan mengharapkan balasan dan keridhaanNya belaka.
Allah SWT menegaskan kepada
kita suatu prinsip hidup bahwa setiap orang akan memikul dosanya sendiri, dan
akan menerima balasan kebajikannya sendiri pula. Tidak ada istilah pengalihan
dosa, atau transfer pahala, inilah suatu prinsip yang kekal sepanjang sejarah
risalah, semenjak dahulu kala sampai hari kiamat.
Jadi orang yang berkata
bahwa dosa ataupun pahala seseorang dapat dialihkan kepada orang lain adalah
anggapan keliru tentang perkara ghaib.
"Apakah dia mempunyai
pengetahuan tentang yang ghaib sehingga dia mengetahui (apa yang
dikatakan)?"
"Ataukah belum
diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa?, dan
lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyem-purnakan janji?"
"(yaitu) bahwasanya seorang
yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain..."
Orang yang menganut prinsip
keliru itu, hendaklah sadar dari kekeliruannya dan segera bertaubat kepada
Allah.
Pada hari kiamat manusia
hanya akan mempertanggung jawabkan perbuatannya masing-masing. Itulah hari yang
tidak ada gunanya harta benda, anak cucu dan kaum kerabat. Seorang anak tidak
menanggung dosa ibu bapaknya, dan ibu bapak tidak akan menanggung dosa anak
kandungnya...
Sebaliknya pahala tidak
dapat dialihkan kepada orang lain, walaupun kepada ibu bapak kita, atau orang
yang paling kita cintai di dunia ini...
"dan bahwasanya seorang
manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakan-nya. Dan bahwasanya
usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya)."
Bahwasannya yang melakukan perbuatan
baik walaupun sebesar zarrah karena mengharapkan keridhaan Allah, niscaya kelak
akan memperoleh balasan yang setimpal dengan perbuatannya itu. Dan barang siapa
yang melakukan perbuatan dosa meskipun sebesar zarrah, pasti akan menerima
pembalasan yang setimpal juga.
"Kemudian akan diberi
balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna..."
Kekeliruan dalam memandang
dosa dan pahala merupakan penyimpangan yang nyata pada penganut agama Kristen,
yang menganggap bahwa setiap manusia menerima warisan dosa Adam dan Hawa... Di
sisi lain ummat Islam ada pula yang menganggap bahwa orang bisa mengalihkan
pahala, sehingga terjadilah peng-hadiahan pahala
kepada orang lain... Kedua pandangan ini sama saja kelirunya...
Jika dijumpai di dalam
hadits Nabi bahwa seorang anak dibolehkan bersedekah atas nama ibu bapaknya
yang sudah meninggal dunia, dan lain sebagainya, maka hal ini bukan berarti
pengalihan pahala. Tetapi suatu pengajaran yang menunjukkan bahwa seorang anak harus
berbakti kepada ibu bapaknya, walaupun mereka sudah meninggal dunia. Karena
anak adalah hasil usaha ibu bapak...
Begitupula doa keselamatan
bagi ibu bapak, atau bagi sesama mukmin; bukan pengalihan pahala, tetapi doa.
Oleh sebab itu tidak boleh berbuat kebajikan mengatas namakan orang lain, di
luar apa yang ada dalam nash (Al-Quran dan Sunnah). Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar