Kamis, 20 Agustus 2015

(13) DOSA DAN PAHALA TANGGUNG JAWAB SETIAP INSAN



{أَفَرَأَيْتَ الَّذِي تَوَلَّى (33) وَأَعْطَى قَلِيلًا وَأَكْدَى (34) أَعِنْدَهُ عِلْمُ الْغَيْبِ فَهُوَ يَرَى (35) أَمْ لَمْ يُنَبَّأْ بِمَا فِي صُحُفِ مُوسَى (36) وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّى (37) أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى (38) وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (39) وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى (40) ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ الْأَوْفَى (41) } [النجم: 33 - 42]

Maka apakah kamu melihat orang yang berpaling (dari Al Qur'an)?,(33) serta memberi sedikit dan tidak mau memberi lagi?(34) Apakah dia mempunyai pengetahuan tentang yang ghaib sehingga dia mengetahui (apa yang dikatakan)?(35) Atau-kah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa?,(36) dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji?,(37) (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,(38) dan bahwasanya seorang manusia tiada memper-oleh selain apa yang telah diusahakannya.(39) Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya).(40) Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna. (An-Najm: 33-41)

Kutipan surat An-Najm di atas termasuk rangkaian ayat Makkiyah yang menyangkut persoalan mendasar (akidah) dalam kehidupan kita.

Terdapat berbagai riwayat yang menerangkan sebab turun ayat antara lain:

1. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ikrimah, bahwa Nabi SAW bersiap-siap berangkat ke medan perang, lalu datang seorang laki-laki yang meminta untuk dibawa serta. Akan tetapi Rasulullah SAW tidak mempunyai lagi kenderaan yang akan dinaikinya. Orang tersebut bertemu dengan seorang temannya dan menyatakan keinginannya. Temannya menanggapi: "Baiklah, aku berikan kepadamu seekor anak untaku yang masih muda dengan syarat, engkau menanggung segala dosa-dosaku." Orang itupun setuju.

2. Bersumber dari Darraj Abi Samah, bahwa suatu ketika pasukan bersiap-siap ke medan perang, lalu seorang laki-laki meminta kepada Rasulullah SAW untuk dibawa serta. Rasulullah SAW bersabda: "Telah habis kenderaan yan dapat aku berikan untuk tungganganmu." Pulanglah dia dengan sedih. Di perjalanan dia bertemu dengan seseorang yang bersiap-siap menaiki untanya. Orang miskin ini berkata: "Maukah engkau bermurah hati membawa-ku mengejar pasukan, dan engkau memperoleh ganjaran kebajikannya?" Orang itu menyetujui. Ia pun naik ke atas unta itu.

Dari dua kutipan riwayat sebab turun ayat di atas kita dapat melihat watak manusia dalam melakukan amal perbuatan baik yang disertai kebakhilan. Pemberiannya yang sedikit kepada orang lain didorong oleh interes, dan jauh menyimpang dari bimbingan Al-Quran, ia memberi dengan syarat orang yang diberinya memberi keuntungan yang sangat besar bagi pribadinya belaka, yaitu mau menanggung dosa yang dipikulnya, atau mau memberikan pahala kebajikan kepadanya. Di sisi lain ada pula orang yang beramal semata-mata mengharapkan keridhaan Allah, tanpa mengharap-kan balasan apapun dari sesama manusia.

'Maka apakah kamu melihat orang yang berpaling (dari Al Qur'an)?, serta memberi sedikit dan tidak mau memberi lagi?"

Al-Quran membimbing kita agar gemar melakukan kebajikan ikhlas karena Allah SWT. Jangan memberi kepada orang lain, dengan harapan orang yang diberi itu akan membalas pemberiannya dengan balasan yang jauh lebih besar. Dan membantu sesama tidaklah boleh dihentikan, bilamana yang dibantu tidak mampu memberikan imbalan, tetapi hanya dilakukan demi Allah SWT dan mengharapkan balasan dan keridhaanNya belaka.

Allah SWT menegaskan kepada kita suatu prinsip hidup bahwa setiap orang akan memikul dosanya sendiri, dan akan menerima balasan kebajikannya sendiri pula. Tidak ada istilah pengalihan dosa, atau transfer pahala, inilah suatu prinsip yang kekal sepanjang sejarah risalah, semenjak dahulu kala sampai hari kiamat.

Jadi orang yang berkata bahwa dosa ataupun pahala seseorang dapat dialihkan kepada orang lain adalah anggapan keliru tentang perkara ghaib.

"Apakah dia mempunyai pengetahuan tentang yang ghaib sehingga dia mengetahui (apa yang dikatakan)?"

"Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa?, dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyem-purnakan janji?"

"(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain..."

Orang yang menganut prinsip keliru itu, hendaklah sadar dari kekeliruannya dan segera bertaubat kepada Allah.

Pada hari kiamat manusia hanya akan mempertanggung jawabkan perbuatannya masing-masing. Itulah hari yang tidak ada gunanya harta benda, anak cucu dan kaum kerabat. Seorang anak tidak menanggung dosa ibu bapaknya, dan ibu bapak tidak akan menanggung dosa anak kandungnya...

Sebaliknya pahala tidak dapat dialihkan kepada orang lain, walaupun kepada ibu bapak kita, atau orang yang paling kita cintai di dunia ini...

"dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakan-nya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya)."

Bahwasannya yang melakukan perbuatan baik walaupun sebesar zarrah karena mengharapkan keridhaan Allah, niscaya kelak akan memperoleh balasan yang setimpal dengan perbuatannya itu. Dan barang siapa yang melakukan perbuatan dosa meskipun sebesar zarrah, pasti akan menerima pembalasan yang setimpal juga.

"Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna..."

Kekeliruan dalam memandang dosa dan pahala merupakan penyimpangan yang nyata pada penganut agama Kristen, yang menganggap bahwa setiap manusia menerima warisan dosa Adam dan Hawa... Di sisi lain ummat Islam ada pula yang menganggap bahwa orang bisa mengalihkan pahala, sehingga terjadilah peng-hadiahan pahala kepada orang lain... Kedua pandangan ini sama saja kelirunya...

Jika dijumpai di dalam hadits Nabi bahwa seorang anak dibolehkan bersedekah atas nama ibu bapaknya yang sudah meninggal dunia, dan lain sebagainya, maka hal ini bukan berarti pengalihan pahala. Tetapi suatu pengajaran yang menunjukkan bahwa seorang anak harus berbakti kepada ibu bapaknya, walaupun mereka sudah meninggal dunia. Karena anak adalah hasil usaha ibu bapak...

Begitupula doa keselamatan bagi ibu bapak, atau bagi sesama mukmin; bukan pengalihan pahala, tetapi doa. Oleh sebab itu tidak boleh berbuat kebajikan mengatas namakan orang lain, di luar apa yang ada dalam nash (Al-Quran dan Sunnah). Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar