Rabu, 26 Agustus 2015

FASIK PENGHANCUR BANGUNAN MASYARAKAT ISLAM



*Bahaya Berita Fasik

S
uatu ketika Nabi mengutus Walid bin 'Uqbah bin Abi Mu'ith untuk memungut zakat Bani Mustaliq. Ia menerima tugas itu tanpa ragu-ragu. Tetapi syethan telah menggoda hatinya dan menggoncang-kan imannya. Ia merasa was-was untuk pergi ke Bani Mustaliq itu, karena khawatir kalau dirinya akan dibunuh. Di tengah jalan, sambil memperlambat jalan untanya, ia bimbang dan ragu, berat rasanya untuk memenuhi tugas yang dibebankan Nabi, sebab jiwanya pengecut. Maka diputuskannya lagi untuk kembali ke Medinah.

Setelah sampai di sana, ia bercerita kepada Nabi:

"Bani Musthaliq kini telah kembali kafir. Mereka tidak mau menunaikan zakatnya, dan bahkan mereka sudah sepakat untuk menyerang kaum muslimin." (H.R. Ahmad dalam Musnad).

Tentu saja Nabi memberikan perhatian sangat serius dengan berita yang dibawa Walid itu; bahwa mereka telah kafir, tidak mau berzakat, dan bahkan akan memerangi ummat Islam!

Suatu kejutan dan berita gawat bagi Nabi dan kaum muslimin!

Di tengah kemarahan itu Nabi menyadari sendiri, bahwa kemarahan tidak dapat diselesaikan dengan kemarahan juga, tetapi dengan: "Mohon per-lindungan kepada Allah dari syethan terkutuk".

Telah bulat tekad nabi untuk memerangi Bani Mustaliq, kalau tidak karena Allah mencegah pertumpahan darah itu. Melalui wahyuNya, Allah memerintahkan Nabi agar mengecek kebenaran berita Walid bin Uqbah. Kurir yang dipercayai untuk mengadakan pengecekan dengan tiba-tiba ini adalah pedang Allah, Khalid bin Walid, duta Nabi dan kepercayaan Islam.

Berangkatlah Khalid ke Bani Mustaliq. Di batas kota ia berhenti untuk mencari informasi dari penduduknya tentang sikap mereka yang sesungguh-nya. Ternyata apa yang ia dengar langsung adalah berita baik-baik saja, dan tidak ada yang harus ditakutkan. (Ahmad Muhammad Jamil, "Al-Qashashu al-Rumuzi fi al-Quran al-Karim", (terjemahan) pag. 116-118)

Sehubungan dengan kasus di atas, maka turunlah ayat 6 sd 8 surat Al-Hujurat (49):

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebab-kan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. 49:6) Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus, (QS. 49:7) sebagai karunia dan ni`mat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. 49:8)

DEFINISI FASIK

Perbuatan Walid bin Uqbah di atas disebut Allah sebagai perbuatan orang fasik, dan berita yang bersumber dari orang fasik hendaklah diteliti, agar kita tidak menyesal di belakang hari. Lalu apakah yang dimaksud dengan fasik itu?

Kata "fasik" adalah berasal dari bahasa Arab "fasaqa" yang mengandung pengertian sebagai berikut:

Menurut Ibnu Umar: asal "al-fisq" adalah keluar/ menyimpang dari sesuatu (أصل الفسق الخروج من الشيء) seperti firman Allah "maka ia (iblis) fasik dari perintah Tuhannya", maksudnya, "iblis keluar dari perintah". Seseorang dinamakan fasik, karena ia telah terlepas dari perbuatan baik (وسمي الرجل فاسقا لا نسلاخه من الخير). (Al-Gharib lil Khatthaabi Jilid I hal 603)

Di dalam hadits  misalnya kita jumpai:

في حديث النبي أنه قال خمس  فواسق   يقتلن في الحل والحرم الفأرة والعقرب والحدأة والغراب الأبقع والكلب العقور 

"Lima jenis fasik yang dibunuh pada waktu halal dan haram (tahallul dan ihram): Tikus, kalajengking, burung elang, burung gagak yang belang putih dan hitam, serta anjing liar."

قال ابن قتيبة لا أرى الغراب سماه فاسقا إلا لتخلفه عن أمر نوح حين أرسله ووقوعه على الجيفة وعصيانه إياه   وحكي عن الفراء أنه قال لا أحسب الفأرة سميت فويسقة إلا لخروجها من جحرها على الناس  

Ibnu Qutaibah berkata: "Aku berpendapat bahwa burung gagak dinamakan fasik hanya karena penyelewengannya atas perintah Nuh yakni sewaktu beliau mengutusnya, dan gagak bertengger di atas bangkai dan mendurhakai Nuh". Lalu orang menyebut tikus, maka ia mengatakan: "Aku kira tikus disebut fuwaisiqah (si kerdil fasik) hanya karena ia keluar dari lobang persembunyiannya kepada manusia." (Al-Gharib, ibid)

Bila kita meneliti kasus yang menjadi sebab turun ayat di atas, dimana Allah SWT menyebut Walid bin Uqbah sebagai fasik, maka sifat perbuatannya adalah sebagai berikut:

1.        Mudah menerima suatu tugas tetapi tidak bertanggung jawab.
2.       Karena sifat pengecut, maka ia menebarkan issue bohong atas Bani Musthaliq.
3.  Demi kepentingan pribadinya, maka ia tidak menghiraukan bahaya pertumpahan darah yang membahayakan masyarakat banyak.

Sifat-sifat Walid bin Uqbah ini adalah sifat munafik tulen. Jadi munafik sekaligus disebut fasik.

Rasulullah SAW bersabda:

حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ 

"Tanda munafik itu ada tiga; Apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji ia mungkiri dan bila ddiberi amanat ia berkhianat" (HR. Bukhari/ Al-Iman/ 32; Muslim/ fil Imam/ 89; At-Turmuzi/ fil Imam/ 2555; An-Nasa'i/ fil Imam wa syara'iihi/ 4935, dan Ahmad/ Musnad II/ 357,397,536)

Berdasarkan keterangan para ulama, maka fasik dapat disimpulkan dengan:

Segala perbuatan yang keluar dari ketaatan./ Segala perbuatan yang keluar dari istiqamah (keteguhan memegang prinsip agama)/ Segala perbuatan maksiat/ Segala kedurhakaan/ Segala kebohongan./ Segala pengkhianatan atas agama. (Lihat: Mukhtaru al Shihhah, Jilid I/ hal. 206; Al-Gharib lil Khattaabi Jilid I hal 603; Al-Faiq, Jilid III, hal. 55, 116; an-Nihayah fi Gharib al-hadis, Jilid III, hal 446; Lisanul Arab, Jilid IV hal. 225, Jilid V, hal 47, 144, Jilid X, hal 208, dan Jilid XII hal. 270).

KEHANCURAN UMMAT ISLAM

Kasus yang terjadi pada masa Rasulullah SAW yang menyebabkan turunnya surat Al-Hujurat di atas sekaligus menggambarkan bahaya kefasikan sebagai ancaman bagi keutuhan ummat Islam. Oleh sebab itu, segala berita atau sepak terjang orang-orang fasik harus diwaspadai.

Di samping kasus Walid bin Uqbah juga terdapat kasus turunnya surat An-Nur ayat 11-20:

'Aisyah isteri Rasulullah SAW ikut bersama beliau dalam perang Bani Musthaliq. Tetapi ia ketinggalan baju rompinya. Maka ia kembali ke belakang, ke arah Medinah, diantar oleh satu regu tentara senior.

Di tengah perjalanan kembali itu terlepas pula kalungnya, lalu hilang. Karena itu ia mengulangi jejak sendirian dan mencarinya agak lama.

Seorang dari regu pengawal merasa khawatir, lalu melacak di mana 'Aisyah berada. Kuda 'Aisyah terlihat minggat membawa sekedupnya.
Kalung ditemukan oleh sang pengawal. Dan pada waktu itu 'Aisyah tinggal seorang diri di padang pasir. Ia kedatangan rasa kantuk, lalu tertidur dibuai angin sahara.

Pagi haripun datang, dan 'Aisyah bangun dari tidurnya. Tiba-tiba ia melihat Shafwan bin Muatthal sedang menjemput sesuatu yang terjatuh atau tercecer. 'Aisyah melihat Shafwan dan mendengar-nya mengucapkan kata-kata: Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.

Setelah menjemput kalung yang tercecer, kemudian Shafwan membawa kembali 'Aisyah ke dalam rombongan untuk selanjutnya bergabung dengan rombongan Nabi SAW. Hati Shafwan lega, sebab ia telah menyelamatkan seorang yang paling dicintai Nabinya, dan 'Aisyah juga gembira karena sudah dapat berkumpul kembali dengan suami dan keluarga besarnya, setelah ia terpencil sendirian di padang pasir.

Namun demikian kegembiraan 'Aisyah belum tuntas, karena diikuti dengan banyaknya issue, berita bohong, fitnah dan gosip-gosip.

'Aisyah isteri Nabi, anak seorang sahabat terhor-mat dari keturunan bangsawan mulia itu difitnah ada main dengan Shafwan, seorang anak Mu'atthal, pahlawan dan sahabat yang mati syahid".

Alangkah bohong berita itu!

Paling tandas dalam mengeksos berita itu dan penyebar luasnya di kalangan masyarakat adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Nah, mulut-mulut usil mulai berbisik-bisik di pasar dan di tempat-tempat yang banyak orang-orang berkumpul, sehingga dalam waktu relatif singkat, meratalah kabar bohong itu. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Abdullah bin Ubay untuk melampiaskan sakit hati dan menuruti ambisinya.

Alangkah keji tindakannya itu!

Nabi pun sedih bercampur masygul. Begitu pula keluarga Abu Bakar. Beliaupun sampai mengerutkan keningnya, kepada siapa beliau akan menanyakan sesuatu yang akan bisa menghilang-kan kemasygulan-nya tentang 'Aisyah. Kepada sahabat-sahabat beliaukah? Atau kepada keluarga 'Aisyah? Atau isteri-isteri Nabi yang lain? Atau langsung kepada 'Aisyah?

Mereka semua menyaksikan kebenaran dan kesucian 'Aisyah, tetapi bagi 'Aisyah sendiri berita bohong itu sebagai pukulan hebat. Lalu dia datang menemui ayahnya: "Perlukah aku menjelaskan kepada Rasulullah?", katanya. "Atau ayah ibukah yang harus menerangkan persoalannya kepada beliau?"

Keduanya ragu-ragu dan bingung, bagaimana dan apa yang harus mereka katakan, haruskah mereka berdiam diri hingga turun ayat kepada Nabi?

"Demi Allah, kami tidak tahu bagaimana kami akan menjawab", kata mereka.

Setelah kedua orang tuanya tidak dapat berbuat apa-apa dan dadanya sesak bernafas, maka keduanya hanya dapat berkata:

"Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah tempat memohon pertolonganNya terhadap apa yang kamu ceritakan? (Yusuf: 18)

Jawaban mereka persis seperti jawaban Ya'kub yang kehilangan Yusuf, anak yang sangat disayang dan dicintainya.

Allah tidak menyia-nyiakan kesabaran yang suci dan murni dari 'Aisyah yang mulia, atas musibah yang menimpanya, bahkan juga musibah bagi kaum muslimin dan muslimat di saat itu, hingga Allah menurunkan ayat-ayat kepada Nabi Muhammad SAW. (Ahmad Muhammad Jamil, "Al-Qashashu al-Rumuzi fi al-Quran al-Karim", op.cit hal 18-21)

Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka menda-pat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar. (QS. 24:11)
Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mu'minin dan mu'minat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: "Ini adalah suatu berita bohong yang nyata." (QS. 24:12) Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak menda-tangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta. (QS. 24:13) Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu. (QS. 24:14) (Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. (QS. 24:15) Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: "Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar." (QS. 24:16) Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman, (QS. 24:17) dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. 24:18) Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui. (QS. 24:19) Dan sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar). (QS. 24:20)

PENUTUP

1.      Kita ummat Islam hendaklah mawas diri dari perilaku fasik, karena kefasikan itu adalah dimurkai Allah SWT, berbahaya bagi diri kita sendiri dan bagi masyarakat umumnya.

2.    Seharusnya ummat Islam waspada atas segala tindak-tanduk orang-orang fasik, terutama menanggapi segala berita yang berasal dari mereka yang mungkin menimbulkan fitnah di kalangan ummat manusia umumnya, dan ummat Islam khususnya.

Ahmad Muhammad Jamil mengatakan:

"Amatlah disayangkan, bahwa sebelum dan sesudah ini kita masih sering terperangkap dalam keragu-raguan, terpukul oleh berita-berita bohong, provokasi (hasutan), isu-isu, gosip dan berbagai infiltrasi (penyusupan) yang sangat merugikan kita sendiri. Berapa banyak fitnah dan langkah politik yang melarutkan kita ke dalam penyesalan, sehingga ummat Islam terpecah belah, melepaskan tali kekeluargaan, persaudara-an dan perdamaian." (Al-Qashashu al-Rumuzi fi al-Quran al-Karim:, (terjemahan) op.cit pag. 118)

3.    Jika berita orang fasik saja bisa mengancam keselamatan ummat, maka lebih berbahaya lagi apabila yang menjadi pemimpin ummat adalah orang-orang fasik itu sendiri. Oleh sebab itu, hendaklah kita menjauhi pemimpin yang fasik dan tidak memberikan loyalitas kepada mereka, sampai mereka kembali kepada prinsip Islam yang sebenarnya. Wallahu a'lam.

Minggu, 23 Agustus 2015

JANJI SETIA KEPADA PEMIMPIN


Sunnah Rasulullah SAW dalam menciptakan suasana kepemimpinan yang kuat, baik dan berwibawa


عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَجْلِسٍ فَقَالَ تُبَايِعُونِي عَلَى أَنْ لاَ تُشْرِكُوا بِاللهِ شَيْئًا وَلاَ تَزْنُوا وَلاَ تَسْرِقُوا وَلاَ تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللهِ وَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَعُوقِبَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَسَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ فَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ (اللفظ لمسلم : 3223)

Bersumber dari Ubadah bin As-Shamit r.a. katanya: Ketika aku bersama dengan Rasulullah SAW dalam suatu majelis, lalu beliau bersabda: "Seharusnya kamu mengadakan bai'ah (janji setia) kepadaku bahwa; kamu tidak akan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, dan kamu tidak akan berzina, tidak akan mencuri, dan tidak akan membunuh orang yang telah diharamkan Allah kecuali dengan yang hak. Barangsiapa di antara kamu yang mematuhinya maka dia akan diberi ganjaran pahala oleh Allah. Dan barang-siapa yang terlanjur melakukannya maka dia akan mendapat hukuman yang merupakan kaffarat (hukuman yang setimpal) baginya. Barangsiapa yang terlanjur melakukannya tetapi Allah telah menutupinya, maka itu adalah urusan Allah. Jika Allah hendak memberi keampunan kepadanya sudah pasti Allah akan mengampuninya. Tetapi jika Allah hendak menyiksanya, maka sudah pasti Allah akan menyiksanya."

(HR. Al-Bukhari/ Kitabul Iman No. 17; Al-Jumu'ah No. 1087; Al-Manaqib No. 3603, 3604; Al-Maghazi No. 3698; Tafsiril Quran No. 4515; Al-Hudud No. 6286, 6303; Al-Diyaat No. 6465; Al-Fitan No. 6532; Al-Ahkam No. 6660, 6673; At-Tauhid No. 6914. Muslim/ Kitabul Hudud No. 3223. At-Turmudzi/ Kitabul Hudud No. 1359. An-Nasai/ Kitabul Bai'ah No. 4080, 4081, 4082, 4083, 4084, 4091, 4107; Al-Iman wa Syaraai'ahu No. 4916. Ibnu Majah/ Kitabul Hudud No. 2953; Al-Jihad No. 2857. Imam Ahmad/ Juz III, hal. 341, juz V, hal. 313, 314, 316. Imam Malik/ Kitabul Jihad No. 853. Imam Ad-Darimi/ Kitabus Siiri No. 2345.)

عن أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَزَا نَبِيٌّ مِنَ الأَنْبِيَاءِ فَقَالَ لِقَوْمِهِ لاَ يَتْبَعْنِي رَجُلٌ قَدْ مَلَكَ بُضْعَ امْرَأَةٍ وَهُوَ يُرِيدُ أَنْ يَبْنِيَ بِهَا وَلَمَّا يَبْنِ وَلاَ آخَرُ قَدْ بَنَى بُنْيَانًا وَلَمَّا يَرْفَعْ سُقُفَهَا وَلاَ آخَرُ قَدِ اشْتَرَى غَنَمًا أَوْ خَلِفَاتٍ وَهُوَ مُنْتَظِرٌ وِلاَدَهَا قَالَ فَغَزَا فَأَدْنَى لِلْقَرْيَةِ حِينَ صَلاَةِ الْعَصْرِ أَوْ قَرِيبًا مِنْ ذَلِكَ فَقَالَ لِلشَّمْسِ أَنْتِ مَأْمُورَةٌ وَأَنَا مَأْمُورٌ اللَّهُمَّ احْبِسْهَا عَلَيَّ شَيْئًا فَحُبِسَتْ عَلَيْهِ حَتَّى فَتَحَ اللهُ عَلَيْهِ قَالَ فَجَمَعُوا مَا غَنِمُوا فَأَقْبَلَتِ النَّارُ لِتَأْكُلَهُ فَأَبَتْ أَنْ تَطْعَمَهُ فَقَالَ فِيكُمْ غُلُولٌ فَلْيُبَايِعْنِي مِنْ كُلِّ قَبِيلَةٍ رَجُلٌ فَبَايَعُوهُ فَلَصِقَتْ يَدُ رَجُلٍ بِيَدِهِ فَقَالَ فِيكُمُ الْغُلُولُ فَلْتُبَايِعْنِي قَبِيلَتُكَ فَبَايَعَتْهُ قَالَ فَلَصِقَتْ بِيَدِ رَجُلَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةٍ فَقَالَ فِيكُمُ الْغُلُولُ أَنْتُمْ غَلَلْتُمْ قَالَ فَأَخْرَجُوا لَهُ مِثْلَ رَأْسِ بَقَرَةٍ مِنْ ذَهَبٍ قَالَ فَوَضَعُوهُ فِي الْمَالِ وَهُوَ بِالصَّعِيدِ فَأَقْبَلَتِ النَّارُ فَأَكَلَتْهُ فَلَمْ تَحِلَّ الْغَنَائِمُ ِلأَحَدٍ مِنْ قَبْلِنَا ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى رَأَى ضَعْفَنَا وَعَجْزَنَا فَطَيَّبَهَا لَنَا (اللفظ لمسلم : 3287)

Bersumber dari Abu Hurairah r.a. katanya: "Rasulullah SAW pernah bersabda: Dahulu ada seorang Nabi yang menghadapi peperangan dan dia berkata kepada kaumnya: Tidak pantas mengikuti-ku seorang lelaki yang mempunyai isteri yang hendak digaulinya, dan juga seorang lelaki yang sudah mendirikan sebuah bangunan namun dia belum menaikkan bangunan atapnya. Demikian pula dengan seorang lelaki yang telah membeli seekor kambing atau seekor unta bunting, sehingga dia menunggu kelahiran anak ternaknya tersebut. Maka beliau pergi ber-perang. Ketika berada di sebuah kampung di waktu Ashar, beliau berkata kepada matahari: Wahai matahari! Kamu diperin-tahkan dan aku pun diperintahkan. Lalu beliau berdoa: Ya Allah! Tahanlah matahari itu sebentar untukku. Maka matahari pun berhenti karena diperintahkan Allah. Lalu beliau berkata: Kumpul-kanlah segala harta rampasanmu. Setelah mengumpulkan hasil harta rampasan perang tersebut, tiba-tiba ada percikan api dari langit yang seolah-olah akan membakar harta tersebut, namun mendadak api itu berhenti dan tidak jadi membakarnya. Lalu Nabi a.s. berkata: Di antara kamu ada yang telah menyembunyikan harta rampasan perang ini. Maka hendaklah setiap orang dari semua kabilah segera berbai'ah (berjanji setia) kepadaku. Maka mereka pun beramai-ramai datang berbai'ah kepada Rasul itu dengan menjabat tangannya. Kemudian beliau kembali bersabda: Di antara kamu pasti ada yang telah menyembunyikannya. Hendaklah setiap kabilah dari kamu berbai'at kepadaku. Merekapun ber-bondong-bondong datang berbai'at kepada Nabi a.s. sehingga dua atau tiga orang menjabat tangan beliau secara sekaligus. Beliau berkata lagi: Di antara kamu pasti ada yang menyem-bunyikannya, kamu telah berkhia-nat. Kemudian mereka memberikan kepada beliau sebongkah emas sebesar kepala lembu lalu diletakkannya pada timbunan harta rampasan tersebut yang sudah berada di atas tanah. Tidak lama kemudian datanglah percikan api itu lalu memakannya. Beliau bersabda: Harta rampasan perang itu sama sekali tidak dihalalkan kepada seorangpun sebelum kita. Hal itu disebabkan karena Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Luhur mengetahui kelemahan serta kekurangan kita. Maka Allahlah yang akan memperbaiki diri kita."

(HR. Al-Bukhari/ Kitabul Fardhil Khamsi No. 2892. Muslim/ Kitabul Jihad was Siiri No. 3287. At-Turmudzi/ Al-Birru was Shillah No. 1901. Abu Daud/ Al-Adab No. 4262. Imam Ahmad/ Juz II, hal. 317, 318)

KANDUNGAN HADITS


Kedua hadits di atas menerangkan kepada kita tentang keharusan ummat untuk memberikan janji setianya kepada Rasulullah SAW, seperti ummat dahulu telah memberikan janji setianya kepada Nabi mereka.

Firman Allah SWT di dalam surat As-Shaff ayat 14:

"Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong-penolong (agama) Allah sebagaimana Isa putra Maryam telah berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegak-kan agama) Allah?" Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: "Kamilah penolong-penolong agama Allah", lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan (yang lain) kafir; maka kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang."

Hadits tersebut juga dijadikan dalil oleh para ulama dalam hal keharusan untuk memberikan janji setia kepada pemimpin yang menjalankan kepemimpinan seperti kepemimpinan para Nabi alaihimus salam.

Bai'ah atau janji setia adalah bentuk formalitas yang diucapkan sebagai bukti bahwa kita akan memberikan loyalitas penuh kepada pemimpin, selama pemimpin itu masih berada dalam koridor kebenaran. Tetapi janji setia akan batal bilamana sang pemimpin telah menyimpang dari rambu-rambu kehidupan dan rambu-rambu kepemim-pinan yang telah ditetapkan Allah SWT.

Kaum Anshar radhiyallahu 'anhum telah memberikan dua kali janji setianya kepada Rasulullah SAW, yang dikenal dengan "bai'ah 'Aqabah pertama" dan "bai'ah 'Aqabah kedua". Disebut dengan bai'ah 'Aqabah, karena janji setia itu berlangsung di areal perbukitan 'Aqabah Makkah pada musim hajji.

Hadits yang pertama yang bersumber dari Ubadah bin As-Shamit adalah berkaitan dengan perjanjian 'Aqabah pertama itu. Pada waktu itu sebanyak dua belas orang yang berasal dari Yastrib (Medinah) memberikan janji setianya kepada Rasulullah SAW, yang apabila kita gabung dengan riwayat yang lain, maka janji setia itu adalah sebagai berikut:

1. Mereka berikrar kepadanya untuk tidak menyekutukan Allah; 2. Tidak mencuri; 3. Tidak Berzina; 4. Tidak membunuh anak-anak; 5. Tidak mengumpat dan memfitnah, baik di depannya atau di belakang; 6. Jangan menolak berbuat kebaikan.

Barangsiapa mematuhi semua itu ia mendapat pahala surga, dan kalau ada yang mengecoh, maka soalnya kembali kepada Allah. Allah berkuasa menyiksa, juga berkuasa mengampuni segala dosa. (Hayat Muhammad (Sejarah Hidup Muhammad)/ Muhammad Husain Haikal, hal. 187-188)

Sedangkan pada perjanjian 'Aqabah kedua yang terjadi di tahun 622 M, dimana tujuh puluh lima jema'ah hajji Yastrib; tujuh puluh tiga pria dan dua orang wanita, di 'Aqabah mereka memberikan janji setia kepada Rasulullah.

Dalam ikrar kedua ini mereka berkata:

"Kami berikrar mendengar dan setia di waktu suka dan duka, di waktu bahagia dan sengsara, kami hanya akan berkata yang benar di mana saja kami berada, dan kami tidak takut kritik siapapun atas jalan Allah ini." (ibid, hal. 192-193)

Sebelum memberikan ikrar, maka mereka telah menyatakan akan bersedia menerima apapun resiko yang akan mereka hadapi, kata mereka:

"Akan kami terima, sekalipun harta benda kami habis, bangsawan-bangsawan kami terbunuh. Tetapi, Rasulullah, kalau dapat kami tepati semua ini, apa yang akan kami peroleh?"

"Surga," jawab Rasulullah SAW dengan tenang dan pasti.

RENUNGAN HADITS

Untuk mencapai tujuan hidup bermasyarakat yang paripurna seperti dikehendaki Allah, maka diperlukan adanya kepemimpinan yang kuat dan berwibawa. Kepemimpinan yang kuat dan ber-wibawa hanya akan terealisasi bila ditopang oleh pengikut yang solid dan militan, serta rela berkorban apa saja demi terwujudnya tujuan yang diridhai Allah SWT. Oleh sebab itu seorang pemimpin dibenarkan untuk meminta pengikut-nya memberikan bai'ah (janji setia). Itulah yang kita temui dalam hadits yang bersumber dari Ubadah bin As-Shamit, dimana Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَجْلِسٍ فَقَالَ تُبَايِعُونِي عَلَى...

Bersumber dari Ubadah bin As-Shamit r.a. katanya: Ketika aku bersama dengan Rasulullah SAW dalam suatu majelis, lalu beliau bersabda: "Seharusnya kamu mengadakan bai'ah (janji setia) kepadaku

Selanjutnya tentang materi ikrar/ bai'ah tersebut dinyatakan:

أَنْ لاَ تُشْرِكُوا بِاللهِ شَيْئًا وَلاَ تَزْنُوا وَلاَ تَسْرِقُوا وَلاَ تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ

bahwa; kamu tidak akan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, dan kamu tidak akan berzina, tidak akan mencuri, dan tidak akan membunuh orang yang telah diharamkan Allah kecuali dengan yang hak.

Jadi ikrar tadi berkaitan dengan sikap hidup yang meliputi:

Pertama: Tidak akan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun.

Syirik adalah dosa terbesar yang menjungkir balikkan tujuan hidup manusia, dan sumber dari segala kejahatan yang dilakukan manusia.

Kedua: Tidak berzina.

Zina merupakan kejahatan seksual yang mengacaukan hubungan nasab dan mengkondisi-kan ummat hidup seperti hewan.

Ketiga: Tidak akan mencuri.

Pencurian akan menciptakan kehidupan yang jauh dari ketenteraman dan kedamaian.

Keempat: Tidak akan membunuh orang, kecuali dengan yang hak.

Allah SWT mengharamkan pembunuhan, dan Allah telah memuliakan anak Adam. Tetapi pada kondisi tertentu pembunuhan itu dihalalkan, seperti pada peperangan melawan orang kafir, atau dalam menegakkan hukum qishash pembunuhan.

Sebagai konsekwensi dari ikrar dinyatakan:

فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللهِ وَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَعُوقِبَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَسَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ فَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ

Barangsiapa di antara kamu yang mematuhinya maka dia akan diberi ganjaran pahala oleh Allah. Dan barangsiapa yang terlanjur melakukannya maka dia akan mendapat hukuman yang merupa-kan kaffarat (hukuman yang setimpal) baginya. Barangsiapa yang terlanjur melakukan-nya tetapi Allah telah menutupinya, maka itu adalah urusan Allah. Jika Allah hendak memberi keampunan kepadanya sudah pasti Allah akan mengampuninya. Tetapi jika Allah hendak menyiksanya, maka sudah pasti Allah akan menyiksanya."

Kemudian hadits yang bersumber dari Abu Hurairah r.a. menggambarkan tentang seorang Nabi dahulukala bersama ummatnya yang akan maju ke medan peperangan. Tentang siapa nama Nabi itu tidak disebutkan.

عن أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَزَا نَبِيٌّ مِنَ الأَنْبِيَاءِ فَقَالَ لِقَوْمِهِ لاَ يَتْبَعْنِي رَجُلٌ قَدْ مَلَكَ بُضْعَ امْرَأَةٍ وَهُوَ يُرِيدُ أَنْ يَبْنِيَ بِهَا وَلَمَّا يَبْنِ وَلاَ آخَرُ قَدْ بَنَى بُنْيَانًا وَلَمَّا يَرْفَعْ سُقُفَهَا وَلاَ آخَرُ قَدِ اشْتَرَى غَنَمًا أَوْ خَلِفَاتٍ وَهُوَ مُنْتَظِرٌ وِلاَدَهَا

Bersumber dari Abu Hurairah r.a. katanya: "Rasulullah SAW pernah bersabda: Dahulu ada seorang Nabi yang menghadapi peperangan dan dia berkata kepada kaumnya: Tidak pantas mengikuti-ku seorang lelaki yang mempunyai isteri yang hendak digaulinya, dan juga seorang lelaki yang sudah mendirikan sebuah bangunan namun dia belum menaikkan bangunan atapnya. Demikian pula dengan seorang lelaki yang telah membeli seekor kambing atau seekor unta bunting, sehingga dia menunggu kelahiran anak ternaknya tersebut.

Jadi sang Nabi tadi tidak membenarkan pengikutnya pergi berperang bersamanya, semen-tara mereka masih mempunyai hati yang mendua. Oleh sebab itu beliau menyuruh pengikutnya untuk meringankan beban pikiran mereka, baik yang berkaitan dengan hubungan biologis (seksual), maupun yang bertalian dengan dunia usaha…

قَالَ فَغَزَا فَأَدْنَى لِلْقَرْيَةِ حِينَ صَلاَةِ الْعَصْرِ أَوْ قَرِيبًا مِنْ ذَلِكَ فَقَالَ لِلشَّمْسِ أَنْتِ مَأْمُورَةٌ وَأَنَا مَأْمُورٌ اللَّهُمَّ احْبِسْهَا عَلَيَّ شَيْئًا فَحُبِسَتْ عَلَيْهِ حَتَّى فَتَحَ اللهُ عَلَيْهِ قَالَ فَجَمَعُوا مَا غَنِمُوا فَأَقْبَلَتِ النَّارُ لِتَأْكُلَهُ فَأَبَتْ أَنْ تَطْعَمَهُ

Maka beliau pergi berperang. Ketika berada di sebuah kampung di waktu Asar, beliau berkata kepada matahari: Wahai matahari! Kamu diperin-tahkan dan aku pun diperintahkan. Lalu beliau berdoa: Ya Allah! Tahanlah matahari itu sebentar untukku. Maka matahari pun berhenti karena diperintahkan Allah. Lalu beliau berkata: Kum-pulkanlah segala harta rampasanmu. Setelah mengumpulkan hasil harta rampasan perang tersebut, tiba-tiba ada percikan api dari langit yang seolah-olah akan membakar harta tersebut, namun mendadak api itu berhenti dan tidak jadi membakarnya.

Lanjutan hadits menerangkan bahwa, keadaan ini mendorong Nabi itu meminta pengikutnya berbai'ah:

فَقَالَ فِيكُمْ غُلُولٌ فَلْيُبَايِعْنِي مِنْ كُلِّ قَبِيلَةٍ رَجُلٌ فَبَايَعُوهُ فَلَصِقَتْ يَدُ رَجُلٍ بِيَدِهِ فَقَالَ فِيكُمُ الْغُلُولُ فَلْتُبَايِعْنِي قَبِيلَتُكَ فَبَايَعَتْهُ قَالَ فَلَصِقَتْ بِيَدِ رَجُلَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةٍ فَقَالَ فِيكُمُ الْغُلُولُ أَنْتُمْ غَلَلْتُمْ قَالَ فَأَخْرَجُوا لَهُ مِثْلَ رَأْسِ بَقَرَةٍ مِنْ ذَهَبٍ قَالَ فَوَضَعُوهُ فِي الْمَالِ وَهُوَ بِالصَّعِيدِ

Lalu Nabi a.s. berkata: Di antara kamu ada yang telah menyembunyikan harta rampasan perang ini. Maka hendaklah setiap orang dari semua kabilah segera berbai'ah (berjanji setia) kepadaku. Maka mereka pun beramai-ramai datang berbai'ah kepada Rasul itu dengan menjabat tangannya. Kemudian beliau kembali bersabda: Di antara kamu pasti ada yang telah menyembunyikannya. Hendaklah setiap kabilah dari kamu berbai'at kepadaku. Merekapun berbondong-bondong datang berbai'at kepada Nabi a.s. sehingga dua atau tiga orang menjabat tangan beliau secara sekaligus. Beliau berkata lagi: Di antara kamu pasti ada yang menyembunyikannya, kamu telah berkhianat. Kemudian mereka memberikan kepada beliau sebongkah emas sebesar kepala lembu lalu diletakkannya pada timbunan harta rampasan tersebut yang sudah berada di atas tanah.

فَأَقْبَلَتِ النَّارُ فَأَكَلَتْهُ فَلَمْ تَحِلَّ الْغَنَائِمُ ِلأَحَدٍ مِنْ قَبْلِنَا ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى رَأَى ضَعْفَنَا وَعَجْزَنَا فَطَيَّبَهَا لَنَا

Tidak lama kemudian datanglah percikan api itu lalu memakannya. Beliau bersabda: Harta ram-pasan perang itu sama sekali tidak dihalalkan kepada seorangpun sebelum kita. Hal itu disebab-kan karena Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Luhur mengetahui kelemahan serta kekurangan kita. Maka Allahlah yang akan memperbaiki diri kita."

Adapun bagi ummat Nabi Muhammad SAW, harta rampasan perang adalah dihalalkan.

KESIMPULAN/ PENUTUP

Di sini jelas bagi kita bahwa bai'ah, ikrar, atau janji setia kepada pemimpin adalah bahagian dari agama Allah. Bai'ah adalah bentuk pernyataan sikap dari pengikut kepada pemimpinnya, agar pemimpin itu tidak ragu-ragu menjalankan aktifitas kepemim-pinannya untuk mengantarkan ummat ke pintu gerbang surga. Kepemimpinan yang tidak mendapat sokongan dari pengikutnya tidak akan mungkin untuk menjalankan roda kepemimpinan secara baik dan konsekwen. Wallahu a'lam.